Senja Lalu Tiada

Kala senja berlalu,

pilu seakan matahari semu…

Kutuangkan teh hangat ini padanya,

lengkap dengan sepiring kue kecil berlapis cokelat.

Dan melihatnya diam menatap pantai lepas oranye…

 

Setahun lalu dia masih tersenyum, ceria seperti pertama kali kami bertemu, di dermaga itu setiap rabu dan sabtu. Ketika itu dia sering memandangi lautan, dengan kameranya yang sudah tua dan rapuh. Rambutnya selalu terurai, setidaknya rabu di September itu dia pernah ikat sekali, ya, sekali itu saja sebelum akhirnya kami menikah. Dia cantik tanpa pernah kuungkap betapa hal ini bisa kugambarkan. Biarlah menjadi misteri buat kalian, karena dialah ‘misteriku’.

Teh itu beriak,

angin sore membelai.

Dia ambil satu kue,

dan menggigitnya dalam damai.

hanya itu, tak pernah lebih.

 

Setelah 30 tahun, ini pertama kalinya dia hanya diam dan memberi tawa hanya pada foto anak kami yang tersenyum riang. Tak tahan mungkin menahan keceriaan yang ditularkan Reva, sambil memelukku dia menangis, dan tertawa. Sangat keras hingga tetangga sering menyuruhku untuk membawanya ke ahli jiwa, yang, seringkali kuabaikan. “Tak perlu jadi ahli untuk mampu mengobati luka, hanya dengan cinta kuyakin buatnya bertahan dalam kewajaran.” Dan semua itu hanya terbukti, setelah 3 tahun ini aku selalu memberinya teh, iya, teh herbal dari Cina yang kubelikan untuknya ketika pendidikanku mengharuskan aku ke negeri Tirai Bambu itu. Tapi lebih dari semua itu, aku yakin keberadaanku lah yang sangat dibutuhkannya.

 

“Sayang,.,”

kemik bibirnya merekah merah,

sinar senja membangunkannya dari lamunan keibuan,

tentnag anaknya yang hilang.

 

Entah dia memanggilku atau anakku tersayang, entah dia mengingat cerita kami ketika itu atau dulu yang berlalu. Entah apapun yang dia mau, hanya aku berharap dia tak pernah pergi dalam tangis.

 

Detik, detik, dan waktu…

seribu pilu menganga membatu dan terlibas dalam pantun isyarat.

Dengan penuh syukur,

Tuhan hadir memberi kalbu, sunyi

dan kini kau menari.

 

Masih aku ingat bagaimana masa-masa tinggal di rumah di tepi pantai kita, hingga akhirnya villa ini yang menjadi tempat terakhir kita untuk berlabuh bersama semua cucu-cucu yang lucu dari Vera, dan juga Rama. Kehilangan sang sulung tak selalu harus membuat terpaku, itu yang kami pelajari. Lebih dari sepuluh tahun untuk mengenangnya, dan lebih dari sejuta kata untuk menuliskan semua ini. Cukup, akhir dari kisah yang kuhayalkan ini membuat sedikit hati menguak keindahan. Akan keluarga, cinta, kehilangan dan kenyataan. “Jadilah nyata, jadilah hari ini.” Kalimat itu selalu dia ingat sampai dia mati. Dan aku tidak pernah heran kenapa cucu-cucunya lebih memilihnya daripada aku. KArena dia mengingat dan mengalami lebih besar daripada siapapun yang kukenal.

 

Kau memberiku puisi dengan seribu makna keajaiban hati,

dan teh itupun sekarang sepi,

tak perlu lagi.

Sudah ada aku, katamu

kau kesepian disana sendiri.

One thought on “Senja Lalu Tiada

Leave a reply to arnicupid Cancel reply